Halaman

Senin, 13 Mei 2013

tugas makalah hukum pidana




Tugas kelompok I
Hukum pidana
Disusun oleh :
Akfini aditias
Muhajir
Tengku akbar parlingga
Riyaldo putra
Febriansyah
Muhammad fathra fahasta
jaksen

UNIVERSITAS RIAU



Kata pengantar

               Pertama-tama kami ucapkan rasa syukur atas kehadirat tuhan yang maha esa, karna atas limpahan rahmat-NYA kami dapat menyelesaikan makalah ini. Semoga makalah kami ini dapat bermanfaat bagi yang membaca. Dan kami sadari bahwa banyak sekali kekurangan pada penyusunan makalah ini, untuk itu kami mohon maaf sebesar-besarnya. Kritik dan saran kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.




                                                                                         Pekanbaru,4 maret 2012  
                                                                                             Penulis    

                                                                                              Kelompok I



Daftar isi

Kata pengantar..........................................................................................................................
Daftar isi.....................................................................................................................................
Pendahuluan..............................................................................................................................
Ruang lingkup hukum pidana.................................................................................................
A.    Berlakunya hukum pidana menurut waktu.....................................................................
B.     Naskas rancangan kitab undang-undang pidana.............................................................
C.     Berlakunya hukum pidana menurut tempat....................................................................
D.     Berlakunya hukum pidana menurut tempat berdasarkan naskas rancangan KUHP baru.................................................................................................................................
Sumber-sumber hukum pidana..............................................................................................
Penutup......................................................................................................................................
A.    Kesimpulan dan saran......................................................................................................




PENDAHULUAN

             I.      LATAR BELAKANG

            Apakah hukum pidana itu ? pertanyaan ini sesungguhnya sangat sulit untuk dijawab, mengingat hukum pidana itu mempunyai banyak segi, yang masing-masing mempunyai arti sendiri-sendiri. Penerapan hukum pidana berkaitan dengan ruang lingkup hukum pidana itu sendiri dapat bersifat luas dan dapat pula bersifat sempit.  Dalam tindak pidana dapat melihat seberapa jauh seseorang telah merugikan masyarakat dan pidana apa yang perlu dijatuhkan kepada orang tersebut karena telah melanggar hukum. Selain itu, tujuan hukum pidana tidak hanya tercapai dengan pengenaan pidana, tetapi merupakan upaya represif yang kuat berupa tindakan-tindakan pengamanan. Perlunya pemahaman terhadap  pembelajaran hukum pidana itu sendiri.
            Makalah hukum pidana ini memberikan pemahaman bagi pembaca dan sebagai pengetahuan awal  tentang ruang lingkup berlakunya hukum pidana. Penerapan hukum pidana atau suatu perundang-undangan pidana berkaitan dengan waktu dan tempat perbuatan dilakukan.
          Berlakunya hukum pidana menurut waktu, mempu-nyai arti penting bagi penentuan saat kapan terjadinya perbuatan pidana. Ketentuan tentang berlakunya hukum pidana menurut waktu dapat dilihat dari Pasal 1 KUHP.
          Selanjutnya berlakunya undang-undang hukum pidana menurut tempat mempunyai arti penting bagi pe-nentuan tentang sampai dimana berlakunya hukum pidana sesuatu negara itu berlaku apabila terjadi perbuatan pidana. Berlakunya hukum pidana menurut tempat ini dapat dibedakan menjadi empat asas yaitu: asas teritorialitateit, asas personaliteit, asas perlindungan atau asas nasionaliteit pasif, dan asas universaliteit. Ketentuan tentang asas berlakunya hukum pidana ini dapat dilihat dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 KUHP.




RUANG LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
            Hukum Pidana mempunyai ruang lingkup yaitu apa yang disebut dengan peristiwa pidana atau delik ataupun tindak pidana. Menurut Simons peristiwa pidana ialah perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan seseorang yang mampu bertanggung jawab. Jadi unsur-unsur peristiw pidana, yaitu :
*   Sikap tindak atau perikelakuan manusia;
*    Masuk lingkup laku perumusan kaedah hukum pidana (pasal 1 ayat I KUHP) yang berbunyi: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalalTi perundang undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan
*    Melanggar hukum, kecuali bila ada dasar pembenaran
*   Didasarkan pada kesalahan, kecuali bila ada dasar penghapusan kesalahan. 
A.      BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT WAKTU

          Ketentuan tentang berlakunya hukum pidana menurut waktu diatur dalam Pasal 1 KUHP, yang berbunyi :
1.     Tiada suatu perbuatan dapat dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu.
2.     jika undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka pada tersangka dikenakan ketetuan yang menguntungkan baginya.

1. Pasal 1 ayat (1) KUHP
          Menyimak Pasal 1 ayat (1) KUHP, didalamnya tercantum asas legalitas, yang dalam bahasa latin disebut Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali, yang artinya tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa pidana yang mendahuluinya.
Rumusan dalam bahasa Latin tersbut tidak berasal dari Hukum Romawi. Hukum Romawi tidak mengenal asas legalitas baik masa republik maupun sesudahnya. Rumusan itu pertam kali diperkenalkan oleh Paul Johan Anselm von Feuerbach dalam bukunya Lehrbuch des peinlichen Recht, pada tahun 1801 yang menyusun 3 buah rumusan dalam bahasa latin:
·         nulla poena sine lege
·         nulla poena sine crimine
·         nulla crimen sine poena legal
 yang ketiga rumusan tersebut olehnya disimpulkan dalam suatu rumusan nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali, dan disingkat dengan nullum crimen sine lege. (A. Zainal Farid Abidin, 1995 : 135) .
           Asas legalitas, menurut Simons van Hamel, van Hatum, menjamin kepastian hukum individu dari tindakan kesewenang-wenangan hakim, sedangkan Vos mengemu-kakan bahwa asas legalitas ini bermanfaat karena di samping kekuatan pencegahan umum ancaman pidana, juga menjamin kepastian hukum. Selanjutnya Pompe juga mempertahankan asas legalitas ini namun ia menyetujui dapat digunakannya analogi terbatas pada peradilan pidana dengan alasan bahwa asas itu sudah mempunyai arti, makna dan tujuan yang lain daripada zaman liberal, yaitu asas itu merupakan magna charta untuk penduduk, malahan untuk penjahat. Tetapi asas itu bukanlah asas yang mutlak, sebab dalam mendesak demi keadilan dan kemanfaatan boleh disingkirkan. Keadilan dan kemanfaatan tidak boleh ditujukan kepada sebagian besar rakyat, sebagai dikemukakan oleh penganut-penganut ulititarisme juga tidak terhadap massa, yaitu suatu jumlah tertentu, yakni kaum proletar, seperti diperjuangkan oleh kaum komunis tetapi untuk masyarakat seluruhnya. (A. Zainal Farid Abidin,1995:37).

B.      NASKAH RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

            Berlakunya ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan menurut waktu berdasarkan Naskah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diatur dalam Pasal 1 dan 2.
            Naskah rancangan kitab undang-undang pidana dalam tulisan ini adalah naskah yang ada pada Direktorat JenderalHukum dan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Perundang-undangan 1999 – 2000.
      Pasal 1:
      (1)  Tiada seorangpun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.
      (2)  Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan penafsiran undang-undang secara analogi.
      (3)  Ketentuan dalam ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup atau hukum adat yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
      (4)  Terhadap pembuat yang memenuhi ketentuan ayat (3) berlaku ketentuan pidana dalam Pasal 93.    

      Penjelasan :

*      Pasal 1
Ayat (1)  :
            Pasal ini mengandung asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa perbuatan hanya merupakan tindak pidana apabila ditentukan demikian oleh atau didasarkan pada undang-undang. Yang dimaksud dengan ”perbuatan” disini adalah baik perbuatan yang dilakukan (aktif) maupun perbuatan yang tidak dilakukan (pasif). Dipergunakannya asas tersebut, oleh karena asas legalitas merupakan asas pokok dalam hukum pidana. Oleh karena itu peraturan perundang-undangan pidana atau yang mengandung ancaman pidana karus sudah ada sebelum tindak pidana dilakukan. Hal ini berarti bahwa ketentuan tindak pidana tidak berlaku surut demi mencegah kesewenang-wenangan penegak hukum dalam menuntut dan mengadili seseorang yang dituduh melakukan suatu tindak pidana

Ayat (2)  :
            Larangan pengggunaan penafsiran analogi dalam menetapkan adanya tindak pidana merupakan konsekuensi dari penggunaan asas legalitas. Penafsiran analogi berarti bahwa terhadap suatu perbuatan yang pada waktu dilakukan tidak merupakan     suatu tindak pidana, tetapi terhadapnya diterapkan ketentuan pidana  yang berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan yang lain. Dengan ditegaskannya larangan penggunaan
 analogi maka perbedaan pendapat yang timbul dalam praktek selama ini dapat dihilangkan.
               
Ayat (3)   :
            Adalah suatu kenyataan bahwa dalam beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dan berlaku sebagai hukum di daerah tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam lapangan hukum pidana yaitu yang biasanya disebut  dengan tindak pidana adat. Untuk memberikan dasar hukum yang mantap mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka hal tersebut mendapat pengaturan secara tegas dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini. Ketentuan dalam ayat ini merupakan pengecualian dari asas bahwa ketentuan pidana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Diakuinya tindak pidana adat tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat tertentu.

Ayat (4)   Cukup jelas

Pasal 2:

        (5)    Jika terdapat perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, maka diterapkan peraturan perundang-undangan yang paling menguntungkan.

        (6)    Jika setelah putusan pemidanaan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, perbuatan yang tert\jadi tidak lagi merupakan tindak pidana menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka pelaksanaan putusan pemidanaan dihapuskan.

        (7)    Jika setelah putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, perbuatan yang terjadi diancam dengan pidana yang lebih ringan menurut peraturan perundang-undangan yang baru, maka pelaksanaan putusan pemidanaan tersebut disesuaikan dengan batas-batas pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru.

Penjelasan:
*      Pasal 2
Ayat (1) :
            Asas ketentuan pidana tidak berlaku surut (nonretro aktif) adalah mutlak. Namun apabila terdapat perubahan peraturan perundang-undangan pidana setelah seseorang melakukan suatu tindak pidana, maka  digunakan keten-tuan yang lebih menguntungkan bagi terdakwa.

Ayat (2)  :
            Yang dimaksud dengan “pelaksanaan putusan pemidanaan dihapuskan” adalah bahwa narapidana yang bersangkutan dibebaskan dari menjalani pidana yang telah dijatuhkan kepadanya. Dengan demikian, apabila narapidana sedang menjalani pidana, maka pelaksanaan sisa pidana ditiadakan, dan apabila pidana belum dijalani, maka pelaksanaannya gugur. Mengenai putusan pengadilan sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka instansi atau pejabat yang berwenang menetapkan pembebasan adalah pejabat eksekutif.
                 
            Ketentuan mengenai pembebasan ter-sebut berlaku juga bagi tersangka atau terdakwa yang berada dalam tahanan. Pembebasan tersebut ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan.
Ayat (3)   :
            Mengingat putusan pengadilan sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, ma-ka instansi atau pejabat yang berwenang menetapkan penyesuaian pidana adalah pejabat eksekutif.
            Pemberian keringanan pidana tidak me-nimbulkan hak bagi terpidana menuntut ganti kerugian.

C.     BERLAKUNYA HUKUM PIDANA  MENURUT TEMPAT
         
            Ruang lingkup berlakunya peraturan-peraturan pidana menurut tempat dalam KUHP diatur pada Pasal 2 – 9 KUHP. Berdasarkan ketentuan tersebut ada 4 asas, yaitu asas teritorial, asas personal (nasional aktif), asas per-lindungan (nasional pasif) dan asas universal.

1.          Asas Teritorial

          Menurut asas teritorial atau teritorialiteits beginsel, atau disebut juga lands beginsel, berlakunya undang-undang pidana suatu negara semata-mata didasarkan pada tempat dimana suatu tindak pidana itu  dilakukan, dan tempat tersebut haruslah berada pada wilayah negara yang bersangkutan.         
          Negara berkewajiban menjamin keamanan dan ketertiban di wilayahnya, ia (negara) memiliki kedaulatan atas seluruh wilayahnya, sehingga setiap orang baik secara tetap maupun untuk sementara berada di wilayah negara yang bersangkutan harus mentaati dan menundukkan diri pada segalka perundang-undangan yang berlaku di negara tersebut.
         
Pasal 2 KUHP, berbunyi :
           
            ”Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi tiap orang yang di dalam wilayah Indonesia yang melakukan tindak pidana.”   
      
            Pengertian tiap orang dalam Pasal 2 KUHP di atas, yaitu siapa saja apakah ia warga negara Indonesia atau warga negara asing dengan tidak membedakan jenis kelamin, agama, kedudukan atau pangkat. Namun demikian terhadap orang asing yang menurut Hukum Internasional diberi hak eksteritorialited, tidak boleh diganggu gugat artinya terhadap mereka KUHP tidak berlaku, dan mereka itu tunduk kepada undang-undang pidana negeri mereka.

Mereka itu antara lain:
Ø  Para kepala negara asing yang berkunjung ke Indonesia dengan setuju pemerintah  Indaonesia.
Ø  Para korps diplomatik negara-negara asing, misalnya: Ambasador, Duta Istimewa.
Ø  Para Konsul, seperti Konsul Jendral, Konsul, Wakil Konsul dan Agen Konsul apabila memang ada perjanjian antara pemarintah Indonesia dengan negara asing tersebut yang saling mengakui ada-nya hak tidak boleh diganggu-gugat (imunniteit diplomatik) untuk para konsul negara masing- masing.
Ø  Pasukan-pasukan negara asing dan para awak kapal perang asing yang ada di bawah pimpinan langsung dari komandonya, yang datang di indonesia atau melintai wilayah indonesia dengan setahu pemarintah Indonesia.
Ø  Para wakil dari Badan-Badan Internasional, seperti utusan PBB, Palang Merah Internasional, dll.

            Walaupun mereka yang tersebut di atas memiliki hak territorialiteit, bukan berarti mereka seenaknya untuk bertindak sesuka hatinya (melanggar ketentuan undang-undang). Memang mereka itu tidak dapat dituntut pidana di Indonesia, akan tetapi terhadap mereka senantiasa dapat diajukan pengaduan kepada pemerintahnya, wakil diplomatik itu sendiri.  Pengaduan tersebut disertai tuntutan untuk memanggil kembali wakil diplomatik yang bersang-kutan dan untuk menuntut pidana di negaranya sendiri. Artinya terhadap mereka yang melanggar ketentuan undang-undang pidana Indonesia dapat dilakukan tindakan, hanya saja harus melalui jalur dipomatik. dalam hubungan dengan asas teoterialitas, mengenai wilayah Indonesia (A.Zainal Abidin Farid, 1995 : 162 – 163) dapat diketahui dari ketentuan:

            “Pasal 2 UUDS 1950 yang pernah berlaku dahulu hanya menyabut, bahwa Republik Indonesia meliputi seluruh daerah Indonesia. Menurut Supomo (UUDS RI 1957 : 22), bahwa dalam penjelasan atas rencana UUDS ini disebut, bahwa yang dimaksud daerah Indonesia itu, ialah daerah Hindia Belanda dulu. Konstituante RI  merumuskannya dalam keputusan No.47/K/1957: Wilayah negara indonesia sesuai yang dimaksud pada waktu proklamasi kemerdekaan Inonesia tanggal17 Agustus 1945 meliputi seluruh bekas wilayah Hindia Belanda menurut keadaan pada saat pechnya perang pasifik tanggal 7 Desember 1941”.

            Asas teritorialitas, diperluaskan Pasal 3 KUHP yang berbunyi: “Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang diluar Indonesia, melakukan perbuatan pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.” 
 
          Pengertian kendaraan air dan pesawat udara Indonesia dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 95 dan 95a KUHP.

Pasal 95 KUHP:
            “Yang dikatakan kapal negara Indonesia, yaitu kapal atau perahu yang menurut undang-undang umum tentang pemberian surat laut dan pas kapal di negara Indonesia harus mempunyai pas laut atau pas kapal atau surat ijin buat semantara waktu pengganti surat atau pas kapal itu.

Pasal 95a KUHP :
        (1) Yang dimaksud dengan pesawat udara Indonesia adalah pesawat udara yang didaftarkan di Indonesia.
        (2) Termasuk pula pesawat Indonesia adalah pesawat udara asing yang disewa tanpa awak pesawat yang dioperasikan oleh  perusahaan penerbangan Indonesia pesawat.
Menurut Jonker (A.Zainal Abidin Farid, 1995 : 164) perluasan asas tersebut tidak boleh diartikan melipti seluruh kapal laut atau perahu. Hanya kapal perang dan kapal dagang di laut bebas merupakan teritoir Indonesia.    

D.    Berlakunya Hukum Pidana Menurut Tempat Berdasarkan naskah Rancangan KUHP Baru.

            Berlakunya ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan menurut tempat berdasarkan Naskah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diatur dalam Pasal 3 sampai Pasal 12. Naskah Rancangan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana dalam tulisan ini adalah naskah pada Direktorat Perundang-undangan Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Perundang-undangan 1999 – 2000.


Pasal 3
            Ketentuan Pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia.    
Penjelasan:  
            Ketentuan dalam Pasal ini mengandung asas wilayah. Asas ini berarti bahwa berlakunya keten-tuan pidana ditentukan oleh tempat suatu tindak pidana dilakukan. Yjadi yang diutamakan dalam asas wilayah ini ialah wilayah tempat tindak pidana dilakukan, tanpa melihat kepada kewarganegaraan pelaku tindak pidana itu. Jadi  siapa saja yang mela-kukan tindak pidana dalam wilayah Indonesia dapat diterapkan ketentuan Pidana Indonesia.

Pasal 4     
 
            Ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana dalam kapal atau pesawat udara Indonesia.
Penjelasan:Ketentuan dalam Pasal ini memperluas berlakunya asas wilayah dalam Pasal 3 dengan menganggap kapal atau pesawat udara Indonesia sebagai wilayah Indonesia.

            Pesawat Indonesia yang dimaksudkan dalam ketentuan ini tidak hanya pesawat udara yang didaftarkan di Indonesia, tetapi juga pesawat udara asing yang disewa oleh orang, lembaga, atau pemerintah Indonesia untuk waktu lama tanpa awak pesawat (dryleased) dan dioperasikan oleh perusahaan penerbangan Indonesia.

            Apabila terjadi tindak pidana dalam pesawat tersebut, maka sebagian besar dari saksi awak pesawat adalah warga negara Indonesia, oleh karena itu hal ini memudahkan pelaksanaan peradilan bila terhadap tindak pidana tersebut dikenakan hukum pidana Indonesia.
Yang dimaksud dengan”pesawat ruang angkasa” adalah laboratorium ruang angkasa dan sejenisnya.

Pasal 5

            Ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:
a.       Pasal 193 sampai dengan Pasal 203 dan Pasal 205 ayat (1) butir a, dan Pasal 220;
b.      Pasal 224 sampai dengan Pasal 227, dan Pasal 228 sampai dengan Pasal 237;
c.       Pasal 384, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 391, Pasal 392,Pasal 393, Pasal 395 butir b, dan Pasal 398;
d.      Pasal 302, Pasal 303, Pasal 304, Pasal 376 sampai dengan Pasal 379, Pasal 490, Pasal 542, Pasal 561, Pasal 592, Pasal 594, Pasal 632, Pasal 634, Pasal 635, Pasal 636, Pasal 638, Pasal 644, Pasal 645, dan Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

       Penjelasan :

            Pasal ini mengandung asas nasional pasif (huruf a, b, c) dan asas universalitas (huruf d). Asas nasional pasif atau perlindungan dimaksudkan untuk melindungi kepentingan hukum negara. Pembuat tindak pidana yang dikenakan ketentua Pasal ini adalah setiap orang, baik warga negara Indonesia maupun orang asing yang melakukan tindak pidana di luar wilayah negara Republik Indonesia.
Penerapan asas nasional pasip dalam peraturan perundang-undangan pidana Indonesia hanya terbatas kepada perbuatan tertentu yang sungguh-sungguh melanggar kepentingan hukum nasional yang sangat penting untuk dilindungi. Hal ini terlihat dalam penunjukan Pasal-Pasal yang dilanggar yang terhadap pembuatnya dapat diterapkan hukum pidana Indonesia.

            Alasan dipakainya asas nasional pasif karena pada umumnya tindak pidana yang merugikan suatu negara, oleh negara tempat tindak pidana dilakukan  (lokus delikti) tidak selalu dianggap sebagai suatu perbuatan yang harus dilarang dan diancam pidana. Oleh karena itu dapat terjadi seseorang yang mela-kukan suatu perbuatan yang sungguh-sungguh melanggar kepentingan hukum nasional Indonesia akan terhindar dari penuntutan, apabila perbuatan tersebut dilakukan di luar wilayah Indonesia. Ber-dasarkan pertimbangan ini, maka melindungi  ke-pentingan nasional Indonesia dirumuskan Pasal 5 ini.
            Asas universalitas adalah asas yang melindungi kepentingan hukum negara Indonesia maupun kepentingan hukum negara lain. Pelanggaran atas kepentingan hukum universal disebut tindak pidana internasional. Landasan pengaturan asas ini terdapat dalam Konvensi internasional di mana sesuatu negara menjadi peserta.
            Indonesia telah menjadi peserta dari beberapa kon-vensi internasional, antara lain: konvensi inter-nasional tentang uang palsu, konvensi internasional tentang laut bebas yang didalamnya diatur tindak pidana pembajakan laut, Konvensi internasional ten-tang kejahatan Penerbangan  dan Kejahatan Terha-dap sarana/prasarana penerbangan, dan konvensi internasional tentang Lalu Lintas dan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika. Apabila di kemu-dian hari Indonesia ikut serta dalam konvensi inter-nasional yang mengatur tentang tindak pidana in-ternasional lainnya, maka penunjukan kepada Pasal-Pasal tindak pidana internasional akan bertambah.

Pasal 6    
     
            Ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang penuntutannya diambil alih oleh Indonesia dari negara asing berdasar suatu perjanjian yang memberikan kewenangan kepada Indonesia untuk menuntut pidana.

Penjelasan :

            Sesuai dengan perkembangan dunia modern, beberapa negara telah mengadakan perjanjian yang memungkinkan warga negara yang ikut serta dalam perjanjian tersebut dapat diadili oleh masing-masing negara anggota karena melakukan tindak pidana tertentu. Dengan demikian, ketentuan ini dimaksudkan untuk mengantisipasi perkembangan adanya perjanjian antara Indonesia dan negara lain yang memungkinkan warga negara dari negara lain tersebut penuntutannya diambil alih dan diadili oleh Indonesia karena melakukan tindak pidana tertentu yang diperjanjikan.

Pasal 7

(1)  ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku bagi negara Indonesia yang diluar wilayah Republik Indonesia melakukan :
a.       salah satu tindak pidana yang disebut dalam Pasal 193 sampai dengan Pasal 223, Pasal 224 sampai dengan Pasal 227, Pasal 251, Pasal 252; Pasal 369, Pasal 380, Pasal 381; dan Pasal 497.
b.      suatu perbuatan yang menurut hukum pidana Indonesia, yang sekurang-kurangnya di-ancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III dan dapat pula dipidana menurut hukum dari negara tempat pidana tersebut dilakukan.
(2) Penuntutan terhadap perbuatan yang dimaksud dalam ayat 1 butir b dapat juga dilakukan walaupun tersangka menjadi warga negara Indonesia setelah tindak pidana tersebut dilakukan.

 Penjelasan :

Ayat (1):
 Ketentuan dalam pasal ini mengandung asas nasionalitas aktif. Berdasarkan asas ini terhadap warganegara Indonesia diberlakukan hukum pidana Indonesia, walau-pun melakukan tindak pidana di luar wilayah negara Republik Indonesia. Dengan demikian, hukum pidana Indone-sia mengikuti warga negara Indonesia di manapun berada.
              Mengingat bahwa tempat dilakukannya tindak pidana (lokus delikti) berada di luar wilayah Indonesia, maka tindak pidana yang dikuasai oleh asas nasional aktif bersifat umum, dengan pengertian walaupun dinegara tempat tindak pidana dilakukan tidak diancam dengan pidana, tetapi karena merugikan kepentingan nasional, maka pembuat dapat dipidana berdasarkan ketentuan ini.
              Ketentuan dalam ayat (1) huruf a ditentukan secara tegas jenis-jeis tindak pidana yang dimaksudkan, mengingat tindak pidana tersebut tidak selalu diancam dengan pidana oleh negara lain.
              Di samping itu, asas nasionalaktif berlaku pula terhadap tindak pidana lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf b, dengan ketentuan bahwa perbuatan tersebut di Indonesia merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak kategori III dan di negara tempat tindak pidana dilakukan (lokus delikti) juga merupakan tindak pidana.
              Asas yang dikandung dalam ayat (1) huruf b inidisebut asas tindak pidana rangkap (double criminality).
Ayat (2)  Cukup jelas

Pasal 8
            Warga negara Indonesia yang di luar wilayah negara Republik Indonesia melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) butir b tidak dapat dijatuhi pidana mati jika tindak pidana tersebut menurut hukum negara tempat tindak pidana tersebut dilakukan tidak diancam dengan pidana mati.

Penjelasan:

Ketentuan dalam pasal ini memuat pembatasan Pasal 7 ayat (1) huruf a, bahwa terhadap pembuat yang kemudian diadili di Indonesia, tidak dapat dijatuhi pidana mati apabila terhadap tindak pidana tersebut oleh negara tempat tindak pidana dilakukan (lokus delikti) tidak diancam dengan pidana mati.

Pasal 9         
            Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi pegawai negari Republik Indonesia yang di luar wilayah Republik Indonesia melakukan salah satu tindak pidana jabatan yang tercantum dalam Bab XXIX Buku Kedua atau dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penjelasan:

            Berdasarkan ketentuan Pasal ini berlakunya hukum pidana Indonesia juga diperluas terhadap pegawai negeri Indonesia, termasuk staf lokal (local staff) warga negara asing pada Kantor Perwakilan Republik Indonesia, yang melakukan tindak pidana jabatan.
            Inti ketentuan dalam pasal ini sama dengan asas nasional pasif atau asas perlindungan hukum, yaitu untuk melindungi kewibawaan pemerintah serta alat kelengkapannya supaya tidak dilanggar, termasuk oleh orang asing yang telah diberi kepercayaan memegang jabatan atau melakukan tugas pemerintahan.         
Pasal 10

(1)   Ketentuan pidana  dalam peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku bagi nakhoda, awak kapal, atau penumpang kapal Indonesia yang di luar wilayah Indonesia melakukan salah satu tindak pidana pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Bab XXX Buku Kedua.
(2)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga walaupun nakhoda, awak kapal, atau penumpangkapal tersebut tidakberada di atas kapal Indonesia.

Penjelasan:

            Perluasan berlakunya hukum pidana Indonesia diterapkan terhadap nakhoda, awak kapal atau penumpang kapalIndonesia  yang berada di luar wilayah negara Republik Indonesia, baik ketika mereka berada di dalam maupun di luar kapal Indonesia melakukan tindak pidana. Ketentuan dalam pasal ini merupakan perluasan berlakunya Pasal 4, dan berlaku tanpa pembatasan asas kejahatan rangkap (double criminality).

Pasal 11

(1)   Ketentuan pidanadalam peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku bagi kapten pilot, awak pesawat udara, penumpang pesawat udara Indonesia yang berada diluar wilayah negara Republik Indonesia melakukan salah satu tindak pidana penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Bab XXXI Buku Kedua.
(2)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga walaupun kapten pilot, awak pesawat udara, penumpang pesawat udara tersebut tidak berada dalam pesawat udara Indonesia.

Penjelasan:

            Sejalan dengan ketentuan Pasal 10, yang dapat dipidana menurut ketentuan Pasal ini tidak hanya ketika pembuat berada di dalam pesawat udara Indonesia yang sedang melakukan penerbangan di wilayah udara negara asing, tetapi juga ketika ia berada di luar pesawat udara Indonesia yang sedang berada di luar wilayah negara Republik Indonesia. Ketentuan ini juga merupakan perluasan berlakunya Pasal 4, dan berlaku tanpa pembatasan asas kejahatan rangkap (double criminality).

Pasal 12

            Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 penerapannya dibatasi oleh hal-hal yang dikecualikan menurut hukum internasional.

Penjelasan:

            Dalam masyarakat suatu negara terdapat hukum yang mengatur tingkah laku para anggota masyarakat dalam rangka menegakkan ketentraman dan ketertiban dalam negara itu.Halyang sama berlaku pula dalam masyarakat dunia (internasional). Negara Indonesia merupakan anggota masyarakat Internasional, oleh karena itu sudah selayaknya hukum Indonesia juga ikut serta menegakkan hukum internasional. Ini berarti bahwa ketentuan hukum nasional Indonesia yang bertentangan dengan hukum internasional yang diakui oleh Indonesia, maka hukum nasional Indonesia tidak diberlakukan. Dengan ikut sertanya Indonesia dalam konvensi-konvensi internasional, maka berarti berlakuknya ketentuan pidana Indonesia sebagaimana disebt dalam ketentuan pasal ini dibatasi oleh hukum internasional.




Sumber-sumber Hukum Pidana

            Sumber Hukum Pidana dapat dibedakan atas sumber hukum tertulis dan sumber hukum yang tidak tertulis. Di Indonesia sendiri, kita belum memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, sehingga masih diberlakukan Kitab Undang-undang Hukum Pidana warisan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda.Adapun sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana antara lain :
  1. Buku I Tentang Ketentuan Umum (Pasal 1-103).
  2. Buku II Tentang Kejahatan (Pasal 104-488).
  3. Buku III Tentang Pelanggaran (Pasal 489-569).

            Dan juga ada beberapa Undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus yang dibuat setelah kemerdekaan antara lain :
  1. UU No. 8 Drt Tahun 1955 Tentang tindak Pidana imigrasi
  2. UU No. 9 Tahun 1967 Tentang Norkoba.
  3. UU No. 16 Tahun Tahun 2003 Tentang Anti Terorisme. dll

            Ketentuan-ketentuan Hukum Pidana, selain termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun UU Khusus, juga terdapat dalam berbagai Peraturan Perundang-Undangan lainnya, seperti UU. No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 9 Tahun 1999 Tentang Perindungan Konsumen, UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta dan sebagainya








PENUTUP

A.   Kesimpulan dan saran

            Hukum Pidana disusun dan dibentuk dengan maksud untuk diberlakukan dalam masyarakat agar dapat dipertahankan segala kepentingan hukum yang dilindungi dan terjaminnya kedamaian dan ketertiban.

Dalam hal diberlakukannya hukum pidana ini, dibatasi oleh hal yang sangat penting,   yaitu :
1.      Batas waktu (diatur dlm buku pertama, Bab I pasal 1 KUHP)
2.      Batas tempat dan orang (diatur dlm buku Pertama Bab I Pasal 2 – 9 KUHP)
             Berlakunya hukum pidana menurut waktu, mempu-nyai arti penting bagi penentuan saat kapan terjadinya perbuatan pidana. Ketentuan tentang berlakunya hukum pidana menurut waktu dapat dilihat dari Pasal 1 KUHP.
            Selanjutnya berlakunya undang-undang hukum pidana menurut tempat mempunyai arti penting bagi pe-nentuan tentang sampai dimana berlakunya hukum pidana sesuatu negara itu berlaku apabila terjadi perbuatan pidana. Berlakunya hukum pidana menurut tempat ini dapat dibedakan menjadi empat asas yaitu: asas teritorialitateit, asas personaliteit, asas perlindungan atau asas nasionaliteit pasif, dan asas universaliteit. Ketentuan tentang asas berlakunya hukum pidana ini dapat dilihat dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 KUHP.
            Sumber Hukum Pidana dapat dibedakan atas sumber hukum tertulis dan sumber hukum yang tidak tertulis. ada beberapa Undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus yang dibuat setelah kemerdekaan. Dalam makalah ini telah kita lihat pembahasannya dan bisa dipahami ruang lingkup hukum pidana tersebut.






3 komentar:

  1. Lok Cit Op Cit Nya Mana ? sumbernya terpercaya gag ni

    BalasHapus
  2. bagus jugak ni buatan anak unri.
    hahaha
    tp kalau mau lebih bagusnya nya lagi pakai daftar pustaka sama footnote juga nii. . ..

    BalasHapus
  3. daftar pusatakanya engga ada apah?

    BalasHapus